[Cerpen] Hari Itu Hujan Turun
| Hari Itu Hujan Turun |
Dalam kondisi apapun, hujan selalu terasa menyenangkan sekaligus menenangkan.
Maka kali ini, izinkanlah aku menceritakan sebuah kisah.
Tentang hujan dan kenangan.
Sore itu iringan awan menggelayut manja di kaki langit.
Yang kulihat warnanya kelabu, pekat seolah mendekati malam. Merayap perlahan mengikuti ke manapun arah angin ingin pergi. Dingin.
Aku yakin, ini belum terlalu malam untuk malam tiba.
Aku bertanya pada Mama, “Apa itu, Ma?” dalam bahasa yang hanya aku dan Mama pahami.
Mama dengan sabar mengajariku kata ‘Awan’. Setelah lima kali pengulangan, aku mulai mengerti. Ah, mamaku keren sekali! Akhirnya, di hari itu, aku tahu apa itu awan. Hehe. Aku juga akhirnya tahu, kalau setelah awan gelap, nyaris selalu hujan akan turun. Mama bilang, air yang turun dari langit dinamakan hujan. Dahiku berkerut bingung selama tiga detik, lalu manggut-manggut tanda mengerti.
Aku ingat, saat itu kami tertawa riang menyambut rintik demi rintik hujan jatuh. Membasahi tanah-tanah pekarangan rumah kami yang sunyi, menyirami tanaman-tanaman bunga yang Mama sirami setiap hari.
🌦🌦🌦
Itu sembilan tahun lalu.
Sejak saat itu, hingga sekarang, aku masih menyukai hujan.
Kalau kau tanya apa yang kusukai dari hujan, aku bisa menyebutkan banyak sekali alasan.
Saat hujan turun, jika hari itu tidak berangin kencang dan tidak ada petir menyambar, aku dan Mama biasanya akan menghabiskan waktu berdua saja di teras rumah. Bergelung memandangi jutaan tetes air yang jatuh menghujam lapisan udara sambil berpegangan tangan. Eraaaatt sekali. Terkadang Mama membacakanku cerita tentang “Rimba Si Singa Cerdas” atau “Kunang-kunang Menari” yang entah sudah berapa ratus kali diulangnya dan aku tak pernah bosan. Di beberapa kesempatan, Mama juga mengajariku tentang proses bagaimana awan-awan terbentuk, bagaimana awan bisa membawa air dalam jumlah cukup banyak, membawanya berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, untuk kemudian memuntahkan semua isinya tercurah ke tanah. Seruuu! Atau saat Mama tiba-tiba menceritakan kisah perjuangannya dalam menghadirkanku ke dunia. Oh, cerita yang itu juga aku suka. Sejujurnya, semua hal yang Mama ceritakan tidak pernah membuatku bosan. Sama sekali!
Bila kami rasakan cuaca dingin mulai menusuk kulit, Mama akan langsung tergopoh-gopoh mengambilkan selimut dari dalam. Menyelimutiku yang terduduk kaku memeluk lutut dengan gigi bergemeletuk. Sekadar kau tahu saja, aku tidak pernah mau memakai selimut saat hujan, kecuali apabila sudah kedinginan. Nah, kalau sudah seperti itu, aku tidak punya pilihan selain pasrah saat Mama memakaikan selimut ke sekujur tubuhku yang membeku. Setelahnya, Mama akan membuatkan dua cangkir cokelat panas (terkadang teh yang harum) dan sepiring biskuit untuk kami makan bersama.
Saat hujan turun, bila beruntung, kau juga bisa menemukan kucing-kucing lucu berteduh di teras rumah kami. Aduh, betapa lucunya! Seusai menemukan tempat yang cukup hangat (dan itu biasanya tepat di atas keset kain perca di samping meja tempat kami menaruh dua gelas cokelat panas dan beberapa tumpuk buku cerita), mereka biasanya akan menjilati bulu-bulu halusnya dengan telaten. Tentunya tidak lupa adegan mengangkat kaki ke atas untuk menjangkau area belakangnya. Itu lucu sekali. Hihihi.
Oh, ya! Karena sudah beberapa bulan terakhir ini hampir setiap hujan mereka kemari, aku akhirnya memberi mereka nama. Ada Anto, si kucing hitam yang suka colek-colek semut di lantai teras kami. Ada Zi, yang bermata biru dan bulunya halus seputih salju. Dan ada Opet, kucing oranye yang selalu menatap sinis aku dan Mama, tapi sebetulnya dia baik kok.
Sekarang kami juga sedia stok makanan kucing di rumah. Jadi, kalau-kalau kucing-kucing itu datang, selalu bisa kami sambut dengan makanan. Senang rasanya. Jika sebelumnya di rumah hanya ada aku berdua dengan Mama, saat hujan tiba (dan hanya saat bila hari sedang hujan), mereka akan datang menemani. Entah mengapa, walau hujan, cuaca hari itu seketika menjadi sedikit lebih hangat.
Aroma khas hujan dan dentingan suaranya berjatuhan di atas genting tanah liat rumah kami juga membuatku tenang. Aku suka meresapinya seraya memejamkan mata, kau akan merasakan bahwa dunia ini begitu indah walau tanpa perlu kau lihat. Terkadang aku membayangkan diriku di pekarangan bermandikan hujan, menari, berputar, berkejaran, terjerembab, berguling. Namun, tentu saja itu tidak mungkin terjadi. Menikmati hujan seperti ini saja sudah cukup bagiku.
Pada hari hujan begitu lebat disertai guntur dan petir, aku biasanya menjadi sangat takut. Maka hari itu sudah dapat dipastikan tidak ada agenda duduk bersama di teras. Tapi aku tetap suka! Karena Mama pasti akan menggiringku menuju kamar, membaringkan dan membungkusku rapat-rapat dengan selimut, rasanya seperti bayi sedang dibedong. Lalu Mama akan mendekapku erat, mengusap kepalaku, dan membisikkan kata-kata indah yang membuatku kembali tenang. Hujan yang seperti ini, selalu berhasil membuatku tertidur lelap.
Hujan pula yang menemaniku dan Mama di hari-hari yang berat dan sepi.
Aku ingat, di suatu sore di mana hujan sedang turun dengan derasnya, Mama yang selama ini kulihat selalu tersenyum, saat itu menitikkan air mata. Tetes demi tetes, hingga kemudian tangisannya pecah sudah. Aku menggenggam jemarinya, mengerjap-ngerjapkan mata, lalu memeluknya. Ia menyambut pelukanku dan menangis lebih keras. Aku tidak tahu apa yang terjadi, apa yang sedang Mama alami, dan apa yang Mama rasakan. Yang aku tahu, hari itu pasti berat untuk Mama. Aku memeluknya lagi, kali ini lebih erat.
“Mama baik-baik saja, Nak. Maafkan Mama, tapi izinkan Mama untuk menangis hari ini.”, tangis Mama makin hebat, bahunya naik-turun berulang kali.
Kau tahu, yang bisa kulakukan saat itu hanya mengangguk lalu kemudian ikut menangis. Ingin rasanya aku mengatakan bahwa ia boleh menangis sepuasnya. Namun, bibirku terkatup. Hanya pelukan yang bisa kuberikan.
Lalu ...
Apalagi ya ... yang aku sukai tentang hujan?
Oh, ya!
Setelah hujan, biasanya akan muncul pelangi. Kadang redup atau jauh sekali. Tak jarang pelangi bersandar dekat-dekat sini. Berwarna-warni. Aku suka menerka-nerka warna pelangi. Favoritku jingga yang cerah.
Kata Mama, hujan itu membawa berkah. Dari hujan, tanaman-tanaman akan tumbuh subur. Lalu tanah menyerap air melalui pori-porinya untuk kemudian disimpan menjadi pasokan air bawah tanah. Dari air hujan, semua makhluk hidup dapat terus hidup. Hebat, bukan?
Mama juga bilang, saat hujan turun doa kita bisa dikabulkan lho! Aku sudah berdoa berbagai macam dan sudah membuat permintaan yang banyak sekali. Di kemudian hari, doa kita pasti terkabul, kata Mama.
Aku percaya Mama.
Hari itu hujan turun.
Awan gelap menggantung di kaki langit. Sepertinya kali ini hujan akan turun lebat.
Kulihat Mama dengan sigap menyiapkan selimut di samping kami duduk.
Satu menit pertama, tetes-tetes air mulai jatuh ke bumi. Dua menit berikutnya, tanpa aba-aba, awan memuntahkan jutaan kubik air, membuncah mengguyur sore yang sepuluh menit lalu masih cerah ini.
Deras sekali. Dan anginnya cukup kencang hingga bisa membuat ranting-ranting pohon mangga di depan rumahku bergoyang ke sana ke mari.
Aku seketika berdoa.
Dalam doaku, aku berharap hari-hari akan terus berjalan seperti biasa.
Aku dan Mama.
Anto, Zi, Opet, kalau-kalau mereka kembali.
Di tengah suara gemuruh hujan, kulihat Mama sedang bersandar di kursi rotannya, menatap pekarangan yang tergenang air tidak sampai semata kaki.
Dan di saat itulah aku melihatnya.
Orang itu menghampiriku. Aku menoleh ke Mama. Sepertinya hanya aku yang bisa melihatnya.
Pandangan orang itu, bagaimana harus kukatakan, sejujurnya sangat meneduhkan. Senyumnya tipis. Pakaiannya bagus. Pada awalnya, aku sama sekali tidak takut. Tapi orang ini, entah dari mana ia datangnya, kemudian membisikkan kalimat yang sama sekali tidak ingin aku dengar.
"Tidak!"
"Aku tidak mau pulang!"
"Ini rumahku!" Jeritku dalam sepi. Kelu.
Dedaunan pohon mangga rumah kami kembali bergoyang. Beberapa daunnya berguguran ke tanah basah.
"Ini rumahku!" Jeritku lagi, yang tak bisa didengar Mama. "Ini rumahku." Bulir air mata ingin lolos dari mataku, aku menyerah dan berhasil meloloskannya.
Sayangnya waktuku memang sudah habis, untungnya ia berbaik hati memberikanku waktu tambahan sedikit lagi.
Orang itu sudah pergi sekarang, menghilang di telan derasnya hujan.
Mama, di sampingku, menatapku manis. Maniiiiissss sekali. Aku menatapnya lekat. Mengerjap-ngerjap. Aku tanpa sadar mengirimkan sinyal telepati.
'Ma, aku sangat ingin mandi hujan. Bolehkah? Sekali ini saja."
Mama, entah bagaimana, mengerti maksudku. Mengangguk tiga kali, lalu bangkit dari duduk.
"Kamu boleh mandi hujan, Lani. Bonus karena sudah jadi anak Mama yang paling cantik." ucapnya.
Waah! Aku sungguh tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
Maka, tanpa menunggu Mama berkata apapun lagi dan sebelum Mama berubah pikiran, aku segera meminta Mama mendorongku ke tengah pekarangan. Melintasi jalan setapak berbatu yang tergenang air.
Inikah rasanya mandi hujan? Seru sekali! Aku bisa merasakan tajamnya air mencoba menembus kulitku. Atau saat air hujan menghantam wajahku, sedikit perih, tapi menyenangkan! Rambutku kuyup, bajuku basah. Sekalipun hujan turun sangat lebat, aku berhasil menghalau dingin dengan baik. Kurentangkan tangan lebar-lebar. Kupejamkan mata, menengadah ke langit. Betapa damai dan menyenangkan.
Sebentar saja, Mama dengan jas hujannya menyudahi keseruan ini dengan mendorongku kembali memasuki teras rumah. Tak apa, tadi itu adalah salah satu lima menit terbaikku seumur hidup. Aku sangat senang hingga tak bisa berkata apapun selain tersenyum lebar dari telinga ke telinga hingga nyaris menangis. Oke, ini penggambaran yang aneh, tapi itulah yang terjadi.
Mama menatapku, senyumnya mengembang, aku tahu Mama pasti bangga padaku, ya kan?
Di tengah kesibukan Mama menghandukiku, sesuatu berbulu terlihat bergerak di ujung pintu yang terbuka sedikit. OH! Itu Anto, Zi, dan Opet! Aku girang bukan kepalang. Sedikit berteriak karena antusias, aku memohon kepada Mama untuk mengizinkan mereka masuk ke dalam rumah yang kemudian langsung dijawab oleh Mama dengan anggukan. Selesai berganti pakaian, aku bergantian mengeringkan Anto, Zi, dan Opet bergantian di pangkuan. Bulu-bulu mereka halus sekali. Tak lupa kuisi mangkuk makan mereka bertiga dengan makanan khusus kucing dan air di sampingnya.
Di luar, awan masih menggantung kelabu, hujan masih turun seolah tak berniat putus, genangan air di halaman baru sedikit saja yang surut, dedaunan pohon mangga masih berayun-ayun.
Kucing-kucing kekenyangan beringsut naik satu per satu ke atas kasur (Mama membolehkan setelah kubujuk, hehe), mulai mendengkur.
"Dingin ya, Ma." aku memecah keheningan.
Terlalu lelah untuk bersantai di teras, aku memilih berbaring berdua Mama. Eh, berlima dong ya. Kan sama Anto, Zi, dan Opet juga.
Mama menyelimutiku lebih rapat. Memelukku lebih erat. Mengusap kepalaku lebih lembut. Mencium keningku lebih lama. Menyanyikanku lagu pengantar tidur kesukaanku dengan suara yang lebih merdu dari biasanya. Tak lupa sesekali Mama membisikkanku bermacam kata manis yang membuat air mataku serasa ingin tumpah tak tertahan.
Hari itu hujan turun.
Dingin, tapi yang kurasakan adalah kehangatan yang luar biasa. Menghabiskan hari bersama dengan orang-orang tersayang ... aku suka! Mama, Anto, Zi, Opet.
Hariku hari ini telah sempurna. Hari yang akan selalu kuingat tanpa luput.
Andai segalanya berlangsung seterusnya. Namun, aku tahu di dunia ini tidak ada yang abadi.
"Mama, kalau suatu saat Mama kangen Lani, Mama bisa cari dan lihat pelangi." Bisikku lirih dalam pelukannya.
Kembali kurasakan belaian Mama menyentuh rambutku, aku didekapnya erat, bulu-bulu halus tiga kucingku menyelimuti kaki, aduh geli. Semuanya menghangatkan tubuh dan hati.
Ah, ini semua membuatku mengantuk. Sangat mengantuk. Mataku berat sekali. Kalau kata orang dewasa, ini namanya mataku sudah 5 watt. Maka akupun tak kuasa tertidur, lelaaaaaappp sekali. Itu adalah tidur terbaik dan ternyenyakku sepanjang hidup.
🌦🌦🌦
Hingga hari ini, aku masih menyukai hujan. Kalau kau tanya apa yang kusukai dari hujan, seperti yang kau tahu, aku sudah menyebutkan banyak sekali alasan.
Sebetulnya ada satu alasan terakhir yang belum kusebutkan.
Maukah kau ikut denganku?
🌦🌦🌦
Komentar
Posting Komentar