[Cerpen] Hilang

Seperti yang kujanjikan di postingan Eureka! beberapa waktu lalu, sekarang aku akan share cerpen alayku yang aneh bin nggak jelas ini di blog biar nggak hilang lagi. Hihihi.

Aku hanya edit tanda bacanya serta ada beberapa kalimat yang spasinya rakus, jadi perlu dibenahi supaya lebih nyaman di mata dan enak dibaca. Selain kedua hal itu, tidak ada apapun lagi yang kuubah, apalagi ceritanya. Yang ada mumet. Sekarang mah otak udah terlalu karatan untuk bikin cerita model begini.

Jadi silakan kalian nikmati ya fosil tulisanku dari jaman kuda terbang nikah sama dinosaurus beranak.

Selamat membaca! ♡


Pagi itu, seperti tahun-tahun sebelumnya, aku berziarah ke makam teman baikku. Angga, begitu namanya. Meninggal di usia muda oleh penyakit yang juga merenggut nyawa ibuku, Tuberculosis. Sampai detik-detik terakhir menjelang ajalnya, aku bahkan takkan pernah tahu penyakitnya bila bukan dokter yang memberitahu. Kondisi kesehatan Angga kian hari kian menurun drastis, hingga pada suatu masa, tubuhnya semakin tak berdaya dan langsung kami larikan ke rumah sakit terdekat.

Kedua orangtuanya sudah meninggal dunia dan ia hanya hidup seorang diri. Maka aku dengan sigap mengusulkan ke teman-teman sekelas yang pada saat itu langsung patungan untuk membayar biaya rawat inapnya. Awalnya Angga keberatan dengan bantuan yang kami berikan, tetapi setelah bujukan ke sekian sedemikian rupa barulah ia setuju.

Dan dua hari setelah ia dirawat, Angga menghembuskan nafas terakhirnya di pembaringan dengan senyum penuh arti.

----

Aku menyusuri jalan setapak ini seorang diri yang langsung disambut oleh barisan ibu dan anak-anak dengan sapu lidinya yang entah datang dari mana. Berulang kali kucoba usir secara halus, barisan itu tetap bersikukuh menguntit ke manapun aku pergi, mirip pers media massa. Bedanya, bila pers menguntit dengan kamera, notebook, dan recorder, mereka membawa sapu lidi sambil menggendong dan menggiring anaknya berharap belas kasihan. Aku menghela napas frustrasi.

“Terserah kalian saja lah, tapi uang di dompet saya sekarang hanya cukup untuk ongkos pulang.” Aku tidak sepenuhnya berbohong karena aku memang jarang menaruh uang di dompet, trauma. Akan lebih aman bila menyimpannya di saku baju atau celana. Dan aku hanya akan menyisakan sedikit uang di dompet. Namun, ketika kulirik ke belakang, perjuanganku sia-sia. Barisan itu tetap pada pendiriannya. Aku mengangkat bahu, meringis. Yah, setidaknya berasa jadi artis, batinku.

Perjalanan ke makam temanku ini memang penuh perjuangan. Selain letaknya yang paling ujung, ditambah suara anak kecil di belakangku yang tak berhenti berceloteh tentang apa saja yang dilihat dan diketahuinya mengenai penghuni pemakaman ini. 

“Penghuni.”

Kata itu cukup membuatku merinding. Ibunya hanya mendengus sebal mendengar anaknya yang cerewet sekali itu dan menyuruhnya diam dengan bentakan. Aku tersenyum, mengingat dengan seperti itu aku tak usah repot-repot mendengarkan –dengan terpaksa tentunya– suara si anak kecil. Namun, perkiraanku salah, karena ternyata ia malah melanjutkan ceritanya dengan lebih bersemangat dan berapi-api.

Untuk menghilangkan kejenuhan, sesekali kutatap batu-batu nisan di samping kanan kiri jalan setapak ini. Ada begitu banyak kuburan yang tergolong baru, sedangkan kuburan yang sudah lama sedikit sekali, bisa dihitung dengan jari. Itupun dengan nama-nama yang sepertinya bukan golongan menengah ke bawah.

Akhirnya setelah bermandikan peluh, aku hampir sampai ke makam Angga, hanya tinggal beberapa langkah kecil saja. Namun, aku dikejutkan dengan nisan makam Angga yang tiba-tiba berganti nama. Aku berjalan hilir-mudik dari satu makam ke makam yang lain yang membuat barisan ibu dan anak-anak itu bingung harus membersihkan yang mana.

Tak ada yang bernama Angga. Padahal aku yakin benar bahwa kuburan di hadapanku ini kuburannya. Aku memutar ingatan. Apakah memang aku salah? Berkali-kali aku menggelengkan kepala dengan tegas. Rombongan si ibu dan anak yang cerewet itu mulai menggerutu.

“Mas, kuburannya yang mana nih? Jangan pura-pura lupa deh! Kita sudah biasa dengan trik seperti itu. Kita sudah jalan jauh, meninggalkan sewa lain yang mungkin bisa memberi lebih." Seorang ibu berperawakan gempal berdaster meluapkan emosi.

"Gini deh. Mas kasih kita uang aja, kan kita sudah capek lho jalan jauh ke sini.” Sahut seorang ibu yang lain, menunjuk dengan sapu lidinya jalan setapak yang baru saja dilewati.

Aku terhenyak dari meditasiku, menatap tajam ke arah si ibu yang diamini oleh pasukan lain. Heran. Di saat-saat seperti ini masih saja mereka memikirkan diri sendiri. Mau tak mau aku mengeluarkan selembar uang lima ribuan dari dompetku yang langsung diserobot oleh si ibu gempal berdaster dari tanganku dan pergi tanpa berterima kasih. Mendadak ibu-ibu yang lain menadahkan tangannya.

“Kita beda keluarga, Mas.” Ucap mereka sambil tersenyum licik ke arahku. Aku lalu membalikkan badan, pura-pura tak mendengar. 

Satu detik, lima detik. Akhirnya mereka menyerah.

“Huu... Orang pelit! Kere!” Cibiran demi cibiran masuk ke rongga telingaku tanpa permisi. Dan dalam tempo sepersekian detik berikutnya, sejumlah sayur-mayur keluar dari mulut ibu-ibu yang satu persatu mulai berlalu itu.

Aku tak tahan.

“Eh, Bu. Kan sudah saya bilang kalau uang di dompet saya hanya cukup untuk ongkos pulang. Siapa suruh ibu ngikutin saya? Salah sendiri!"

Ucapanku hanya dibalas oleh delikan berpasang-pasang mata dan mulut yang berungut-sungut.

SKAKMAT!

Ibu-ibu itu berlalu dengan bahan gossip baru, tapi aku sudah terlalu lelah untuk peduli.

----

Hilang?

Sebuah kata misterius itu terus menggelayut di pikiranku. 

“Kok bisa ya? Aku yakin, tak mungkin salah.” Aku menggumam sendiri seraya memandang seorang bapak yang sedang melahap seporsi ketoprak di atas nisan kuburan. Aku bergidik, lalu menatap ketoprak di hadapanku dengan tak berselera, tetapi tetap kusuapkan karena perutku belum terisi sesiang ini.

Seorang anak berlari-lari kecil seraya melompati kuburan di depannya lalu berhenti tepat di depan gerobak ketoprak tempat di mana aku sedang makan. 

“Bang, dua bungkus, ya!” Anak itu menghadap ke arah jalan sehingga yang bisa kulihat hanya punggungnya. Tiba-tiba anak itu berbalik dan mendapatiku tengah menatapnya, ia tertawa.

“Abang yang tadi itu, ya?” Aku mengangguk tak bersemangat. Kenapa aku harus bertemu anak ini lagi? Gerutuku dalam hati. Ia lalu menarik sebuah kursi plastik yang baru saja ditinggalkan oleh seorang bapak dan duduk di atasnya.

“Namaku Andri, rumahku tak jauh dari sini.” Ia menunjuk sekumpulan rumah di pinggiran kompleks kuburan yang terbuat dari kardus dan tripleks. Aku melihat ibu si anak tengah mengangkat jemuran pakaian dari atas genting beratapkan seng. 

Aku kembali menatap Andri yang kini menghampiri tukang ketoprak, pesanannya sudah jadi. Mendadak aku teringat sesuatu, hal sangat penting yang hampir saja terlewatkan. Kini kulihat ia sedang sibuk mencari-cari sesuatu, wajahnya pias. Ia terlibat adu mulut dengan penjual ketoprak. Segera kuhampiri dia yang langsung menceritakan masalahnya. Aku mengangguk. Saraf sensorikku tengah bekerja baik sekali, lalu kubisikkan kata-kata di telinganya. Matanya mengerjap.

“Tapi, Bang. Tadi pagi katanya Abang hanya punya uang untuk ongkos?” Andri menatapku keheranan.

“Oo... Tentu saja. Tadi Abang dapat rezeki.” Untuk kesekian kalinya, kukatakan pada kalian, aku tak berbohong. Karena hingga saat ini aku masih bisa bernapas dan makan siang dengan enak adalah sebuah rezeki yang tak terkira, bukan?

“Wah, benarkah? Oh, iya. Siapa nama Abang?” Ia kini tersenyum, lebaaaaarrrr sekali.

“Nama Abang, Fauzi. Nah, sekarang coba ceritakan!” Ia kemudian duduk kembali dan dengan gaya khasnya mulai menceritakan mengenai kuburan temanku, Angga, yang hilang.

Darinya, kuketahui sudah banyak orang yang mengalami kejadian serupa. Bisa dibilang cukup wajar mengingat jumlah penduduk ibukota kian membludak dan orang yang meninggal tak kalah banyak, sedangkan lahan kosong yang tersisa sedikit sekali. Karena itu, kuburan yang sudah cukup lama akan dibuat ‘bertingkat’, ditumpuk dengan kuburan baru.

Setelah percakapan panjang x lebar x tinggi, barulah aku mengerti duduk perkaranya. Sempat kutanya pada Andri dari mana ia mendapatkan semua informasi itu, ia hanya tersenyum bangga seraya menepuk-nepuk dadanya. Lalu ia membisikkan sesuatu di telingaku.

“Ketoprak ini Abang yang bayar, kan ya?” Aku tergelak dibuatnya. 

“Tentu saja!” Dan untuk meyakinkannya, aku segera mengeluarkan uang dari saku bajuku yang langsung membuatnya ternganga tak percaya. Ketika aku akan memberinya uang, ia menolak. Setelah aku bujuk, barulah ia mau menerimanya.

“Terima kasih, Bang.” Senyumnya merekah. Aku mengangguk.

“Pergunakan secukupnya dan jangan lupa ditabung!” Ia mengacungkan kedua ibu jarinya dan berlari menghampiri ibunya yang sudah berteriak memanggil.

“Siapa orang itu?” Pekikan nyaring melengking terdengar dari kejauhan.

“Kenalan, Abang itu memberiku uang yang banyak.”

“Sudah! Jangan banyak berkhayal! Mana ketopraknya? Dan cepat masuk ke rumah!”

----

Aku kembali menyusuri jalan setapak ini. Kali ini benar-benar seorang diri.

“Angga, kuharap kau menempati tempat terindah di Surga sana, kawan. Yaah, setidaknya kau takkan kesepian. Kau punya teman di ‘lantai bawah’ dan tetangga barumu di ‘lantai atas’.”

Aku tersenyum getir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Healing Journey in 2023

Tulisan Sebelum Tidur

[Ramble] Skripsi dan Siniar