[Ramble] Tentang Pernikahan
Berhubung di tulisan lalu cek di sini aku bahas kesan bacaku tentang buku pernikahan, sekarang gimana kalau kita ngobrol random. Atau monolog mungkin ya lebih tepatnya, karena aku cuap-cuap sendiri di sini. Wkwk. Yah, itu lah ya pokoknya. #gajelas
Sejujurnya aku agak ragu membagikan tulisanku yang ini ke blog karena terlalu pribadi. Sudah lama menghuni draft sampai berdebu. Setelah kupertimbangkan lagi, sepertinya tidak masalah. Toh, siapa juga yang mau membuang waktunya untuk baca tulisan nirfaedahku ini. Kalaupun ada, mungkin masih bisa dihitung jari.
So yeah, semoga aman.
Let's talk about marriage~ Uyee!
┏(^0^)┛
Di umur segini, semakin hari aku semakin banyak menerima pertanyaan sejenis "Kapan nikah?", terutama dari orang-orang terdekat. Apakah kalian sama?
Yang menarik adalah... Setelah aku amati, dari banyaknya orang yang menanyakan topik ini secara konsisten, aku merasa ada perbedaan dari maksud dan tujuan pertanyaan mereka tahun ini jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Kalau dulu (sekitar 2 tahun ke belakang), orang-orang terdekatku bertanya perihal kapan nikah antara entah karena penasaran siapa pasanganku, iseng sekadar basa-basi, atau ingin ngecengin aja gitu.
Nah sekarang... Haha. Aku rasa mereka mulai khawatir. Terlihat dari raut wajah maupun intonasi mereka tiap kali membuka topik pembicaraan sejenis "Kapan nikah?" atau "Gimana, Nis? Calonnya udah ada belum?".
Terus terang, 5 tahun lalu kalau ditanya "What do you see yourself in five years?" Aku selalu terbayang sudah nikah antara umur 21/22/23, dan mungkin di tahun 2021 sudah punya anak satu. Wkwk.
Kenapa terbayangnya gitu? Karena melihat lingkungan kampungku tinggal, rata-rata orang-orang akan menikah di kisaran usia 18-20 tahun. Bahkan adik tiriku pun (dia perempuan and we both are in the same age), was already married and has a 4yo daughter.
Bukan berarti aku ingin menikah di usia muda lho ya (walaupun sebetulnya tidak ada yang salah juga dengan itu, S&K berlaku).
But now look here I am. Beberapa hari lagi seperempat abad, dan masih 'terlihat' santai. Hahaha. Sempat ada sih momen di mana aku ngebet nikah, kayaknya awal-awal memasuki umur 20-an deh, yang kemudian sangat aku syukuri itu tidak berlangsung lama. Terlalu semangat sampai lupa kalau diri ini... dilihat dari sisi manapun belum siap.
Alhamdulillah, salah satu nikmat yang saaaaanggattt aku syukuri adalah... Keluargaku bukan tipe yang nyuruh-nyuruh cepat nikah. Mereka selalu bilang untuk jangan buru-buru. Fokus saja membenahi dan meningkatkan kualitas diri. Pilih calon suami harus selektif, karena seumur hidup itu terlalu lama, terlebih bila dijalani bersama orang yang tidak tepat.
Bahkan ada satu orang sepupuku, seorang ibu dengan tiga anak, yang punya latar belakang pendidikan magister psikologi, selalu menyarankan agar aku tidak menikah saja. Kalaupun mau menikah, jangan punya anak. Atau punya anak 1, tapi beri jeda dari jarak pernikahan. Konteksnya sedang bercanda sih, dan saat ngobrolin itu juga biasanya kami sambil ketawa-ketiwi, tapi memang kupertimbangkan dengan serius, khususnya poin terakhir.
Apakah aku takut menikah?
Nisa beberapa tahun lalu mungkin akan dengan tegas menjawab tidak, tapi Nisa di tahun 2022...
Iya.
Memikirkannya saja bahkan sekarang bisa menjadi pemicu kecemasanku. Terlalu banyak kekhawatiran berputar di kepala. Terutama tentang satu pertanyaan utama yang kerap aku khawatirkan belakangan ini.
"Apakah aku akan bisa menemukan sosok terbaik untuk menjadi pasanganku kelak?"
Satu pertanyaan ini sangat sederhana, tapi kompleks.
Bisa bercabang menjadi ratusan anak pertanyaan lainnya, semisal:
"Apakah aku akan bisa menikah?"
"Apakah aku akan bahagia setelah menikah?"
"Apakah aku bisa menjadi istri dan menantu yang baik bagi suamiku dan keluarganya?"
"Apakah dengan kondisiku saat ini memungkinkanku bisa memiliki dan membesarkan anak? Kalaupun bisa, apakah itu keputusan yang bijak?"
Dalam beberapa kesempatan, aku bahkan mendapati diriku menangis tanpa kendali karena mendadak teringat pertanyaan-pertanyaan di atas, khususnya pertanyaan yang kusebutkan paling akhir. Those questions hit me so hard.
☺☺☺
Sudah nyaris 2 tahun ini kegiatanku berpusat di rumah. Menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan positif seperti ikut kelas bahasa Arab (sekarang sedang off sementara), ikut kajian keagamaan rutin secara luring di dekat rumah maupun daring, ikut kelas pranikah, kelas parenting, banyak baca buku, dan tentu saja aku bekerja di rumah untuk tetap mendapatkan penghasilan.
Sebetulnya keluargaku sekarang agak khawatir aku malah kehilangan minat untuk menikah, tapi begitu mereka tahu aku ikut kelas pranikah, sepertinya mereka sedikit lega.
Lalu waktu kemarin lalu isu childfree sedang ramai-ramainya, mereka juga sempat khawatir aku tidak ingin punya anak kalau menikah nanti, tapi ternyata aku ikut kelas parenting, mereka makin lega.
Kalau ditanya tentang target menikah, satu sisi diriku berteriak kalau bisa ingin segera melangsungkannya di tahun ini atau tahun depan. Sisiku yang lain menahan dengan kuat. Menamparku dengan fakta bahwa aku bahkan belum menemukan siapa sosok yang akan kunikahi, lalu menyadarkanku akan berbagai 'PR pribadi' yang belum tuntas. PR-PR ini, sedang berusaha kuselesaikan, dengan susah payah. I'm doing my best. :')
Ibuku sekarang tiap ada kesempatan ngobrol di telepon makin sering ngode nanya-nanya calon.
"Mamah udah kayak nenek-nenek, tapi belum jadi nenek beneran karena belum dapet cucu dari Nisa hehehe."
She's always says, "Nis, nyari calon jangan kayak beli kucing di dalam karung ya.", ceunah.
I do agree. Detsway sekarang aku lebih memprioritaskan untuk mencari calon suami yang memang aku (atau minimalnya keluargaku) sudah kenal baik sebelumnya.
Agak susah yaa ternyata nyari kandidatnya. Wkwk. Channelnya jadi menyempit ke lingkup keluarga dan teman terdekat.
Oh ya!
Jawaban favoritku tiap kali ditanya kapan nikah adalah "In syaa Allah, di awal bulan, antara hari Sabtu atau Minggu." Hehehe.
Kalian juga punya jawaban andalan untuk pertanyaan kapan nikah? Berkenan share? Leave a comment ya.
❤
Sekarang yang perlu direnungkan adalah, manakah yang akan menjemputku lebih dulu?
Jodoh atau ajal? Manusia tak pernah tahu.
Aku takut sekali, terlalu terlena dengan angan-angan pernikahan sampai lalai mempersiapkan bekal yang tidak kalah penting.
Bekal kematian... untuk pulang.
💬
p.s
Untuk kamu, entah di mana kamu berada.
I'm here, still doing my best. Wait for me ya. I will also wait for you, patiently.
Semoga Allah izinkan kita bertemu di waktu yang paling tepat.
Sehat-sehat. ♡

Komentar
Posting Komentar